unyilamukan:: T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon
Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam
pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di
Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat
di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. Pada
waktu itu penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski demikian, ada
juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong
tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan. Tak pelak, munculah polemik
seputar kaos oblon
Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos oblong –undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak beretika.Namun di
kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas teater tahun 1947 itu, justru
dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap benda ini sebagai lambang
kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos oblong bukan semata-mada
suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan popularitas kaosoblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa perusahaan konveksi
mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka meragukan
prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan kaos oblong dengan pelbagai
bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran. Citra kaos oblong
semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong
yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk
tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos oblong di
kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya
“Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar kaos oblong diakui
sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka mengatakan, kaos
oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode.
Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi
sekita tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong
dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin
kukuh dalam kehidupan di sana.
Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh orang-orang Belanda.
Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda ini mempunyai nilai
gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi pemintalannya belum maju.
Akibatnya benda ini termasuk barang mahal.
Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang signifikan
hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970. Ketika itu
wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan katun-halus-tipis, melekat
ketat di badan dan hanya untuk kaum pria. Beberapa merek yang terkenal waktu
itu adalah Swan dan 77. Ada juga merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan
lain-lain.
Selanjutnya, tidak hanya di Amerika dan Eropa, di Indonesia pun kaos oblong
sudah menjadi media berekspresi. Kaos oblong yang berwarna putih itu diberi
gambar vinyet, dan waktu itu sempat menjadi tren/mode di kalangan anak muda
Indonesia. Tapi tidak lama. Berikutnya vinyet digeser oleh tulisan-tulisan yang
berwarna-warni. Tekniknya sepeprti sablon. Selain itu, ada juga gambar-gambar
koboi, orang-orang berambut gondrong, dan lain-lain. Warna bahan kaos oblong
pun sudah semarak, yaitu merah, hitam, biru kuning. Dan, tren kaos oblong rupa-rupanya
direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om Pasikom dan kemenakannya
dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong” (Harian Kompas, 14 Januari 1978).
No comments:
Post a Comment